Senin, 21 Desember 2009

Keotentikan Hadis

BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan dunia yang serba modern ini pastilah akan mempengaruhi semua bagian kehidupan ini, tak luput juga pasti akan mempengaruhi bidang keagamaan. Hal ini dapat kita lihat dari adanya istilah modernisasi agama. Bagaimanapun juga agama harus bersifat dinamis dan tidak bersifat statis.
Dalam bidang agama Islam sendiri hal itu mempengaruhi berbagai segi keilmuan termasuk mengenai ilmu hadis. Apalagi sekarang ini banyak pemikir barat yang sengaja mempelajari keilmuan Islam untuk mencari kelemahan Islam. Termasuk dalam bidang hadis, ilmu mendapat perhatian khusus dari para permikir barat tersebut atau yang biasa disebut kaum orientalis, mereka menyebar hasil pemikiran mereka yang melencong mengenai keotentikan hadis-hadis Nabi.
Oleh karena itu pada kesempatan kali ini kami akan memaparkan sedikit mengenai keotentikan hadis dan pendapat para tokoh mengenai keotentikan hadis-hadis Nabi.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pada khalayak umumnya.

BAB II
PERMASALAHAN

Permasalahan yang sedang menimpa Islam sangatlah kompleks. Hal ini dapat kita lihat pada adanya penyerangan besar-besaran terhadap Islam baik dari segi fisik maupun non-fisik. Dari segi fisik misalnya perang yang melanda umat Islam di Palestina, sedangkan dari segi non-fisik berupa perang pemikiran atau yang biasa disebut ghozul fikr yaitu adanya penelitian-penelitian para pemikir barat tentang Islam yang bertujuan untuk mencari kelemahan Islam. Terutama dalam bidang Ilmu Hadis, keilmuan ini mendapat perhatian khusus oleh para orientalis setelah mereka tidak mampu mengungkap kelemahan-kelemahan kitab suci Al-Quran.Para orientalis tertarik dengan keotentikan hadis-hadis Nabi apakah benar-benar berasal dari Nabi atau hanyalah buatan umat Islam setelah Nabi wafat.

BAB III
PENGERTIAN HADIS
dan SEJARAH KODIFIKASI HADIS

A. Pengertian Hadis
Menurut Dr. Mahmud Ath-Thohan dalam kitabnya yang berjudul “Taysir Mustholih Al-hadits”, hadits berdasarkan pengertian etimologis adalah baru (jadid) sedangkan menurut istilah hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW baik dari perkataan, perbuatan, pernyataan, dan sifat .
Demikian juga kata “Hadis” (Hadîts) juga berasal dari akar kata :
حَدَثَ يَحْدُثُ حُدُوْثًا وَحَدَاَثةً فَهُوَ حَادِثٌ وَحَدِيْثٌ
yang memiliki beberapa makna, di antaranya :
1. al-Jadîd (baru), antonim dari kata al-Qadîm, yakni terdahulu. Barangkali makna etimologi ini mempunyai konteks teologis, bahwa segala kalam selain kalam Allah bersifat Hadîts (baru), sedangkan kalam Allah bersifat Qadîm (terdahulu).
2. al-Qarîb (dekat) atau dalam waktu dekat belum lama misalnya: حَدِيْثُ الْعَهْد بِالاِْسْلاَمِ (baru masuk Islam). Hadis yang diberi makna nomor satu di atas dan dua ini jamaknya hidâts, hudatsâ, dan hudûts.
3. al-Khabar (berita), oleh karena itu ungkapan pemberitaan Hadis selalu menggunakan ungkapan حَدَّثَنَا، أَخْبَرَنَا وَ أَنْبَأنَا (memberitakan kepada kami, mengabarkan kepada kami, dan menceritakan kepada kami). Seperti firman Allah QS. Al-Thûr :34
" فَلْيَأْتُوْا بِحَدِيْثٍ مِّثْلِهِ إِنْ كَانُوْا صَاِدقِيْنَ "
4. Artinya: “Maka datangkanlah dengan berita sepertinya (al-Qur’ân), jika mereka benar.”
Makna etimologis ketiga di atas lebih tepat dalam kontek istilah Ulumul Hadis nanti, karena yang dimaksud Hadis di sini adalah berita yang datang dari Nabi saw, sedang makna pertama dalam konteks teologis bukan kontek Ilmu Hadis.
Hal-hal yang berhubungan dengan hadis adalah sanad dan matan hadis.
Menurut bahasa, sanad (السند ) adalah مَا يُسْـتَنَدُ إِلَيْـهِ artinya, apa yang dijadikan sandaran. Sedangkan menurut istilah, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis kepada Nabi Muhammad saw. atau dalam definisi Mahmud al-Thahhan: سِلْسِلَةُ الرِجَالِ اْلمُوَصِّلَةُ لِلْمَتْنِ artinya, rangkaian perawi hadis yang mengantarkan matan hadis.
Menurut M. Abdurrahman, pentingnya kedudukan sanad dalam hadis terkait dengan beberapa postulat berikut:
a) Sanad adalah ajaran agama
Postulat ini didasarkan pada pernyataan yang dia kutip dari Ibn Mubarak yang menyatakan:الإسناد من الدين ولو لا الإسناد لقال من شاء ما شاء
Artinya: Sanad itu ajaran agama, seandainya tidak ada sanad, niscaya ada orang yang berbicara semau-maunya.
Karena itu umat Islam dikenal sebagai umat yang sangat hati-hati dalam menisbahkan sesuatu kepada Nabi, terutama jika berkaitan dengan agama. Dalam hal ini, Nabi juga sudah mengingatkan bahwa berdusta atas namanya adalah dosa yang hukumannya adalah neraka.
b) Sanad adalah perantara
Maksudnya adalah bahwa sanad itu merupakan perantara antara satu generasi ke generasi berikutnya. Sebuah riwayat hadis akan diterima jika memiliki sanad dan ditolak jika tidak memiliki sanad.
c) Sanad adalah pangkal kebenaran
Prinsip ini menegaskan bahwa kutipan-kutipan ilmiah baru bisa dipercaya bila bersumber dari orang-orang yang layak, sesuai dengan profesinya dan memiliki kredibilitas keilmuan maupun moral. Orang yang meriwayatkan hadis tanpa sanad adalah seperti orang yang memanjat tanpa tangga.
d) Sanad adalah standar ilmiah
Maksud postulat ini adalah bahwa bobot ilmiah suatu ilmu tidak hanya dilihat dari siapa yang menyatakan tetapi juga terkait dengan transmisi yang dilakukan oleh pembawa berita sehingga berita itu benar-benar sesuai dengan sumbernya. Karena itu Qarad Abu Nuh sebagaimana dikutip M. Abdurrahman, mengatakan: “Setiap ilmu yang tidak ada perkataan haddatsana (telah berkata kepada kami) atau akhbarna (telah memberi kabar kepada kami), maka lemah dan tidak kuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan matan hadis adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh perawi yang berada di akhir sanad (sahabat). Dalam definisi al-Thahhan, matan ialah:
ما ينتهي إليه السند من الكلام
Artinya: “Perkataan yang ada di akhir sanad.”
Matan hadis berupa berita para sahabat tentang apa yang dikatakan atau dilakukan Nabi, atau sifat fisik maupun perangai Nabi.

B. Sejarah Kodifikasi Hadis
Menurut Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dan Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami tidak kurang dari 52 sahabat nabi saw. Memiliki tulisan-tulisan hadis yang mereka tulis saat masa Nabi Muhammad saw. . Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib bahkan menyatakan bahwa orang yang pertama kali menulis hadis di hadapan Rasulullah saw. Dan atas do’a restu beliau adalh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dimana tulisannya kemudian dikenal dengan judul al-shahifah al-shahiha (Buku yang benar).
Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash itu Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda.

Artinya: "Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)
Dan mereka berkata kepadanya, "Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum." Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda:

Artinya: "Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran ".
Orang yang pertama kali mempunyai ide untuk mengumpulkan hadis adalah khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, dimana beliau mengirimkan surat kepada Abu Bakar bin Muhammad al-Hazm. Khlaifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz juga memberikan tugas kepada Ibnu Syihab al-Zuhri dan lain-lain untuk mengumpulkan dan menuliskan hadis. Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz menugaskan kepada al-Zuhri untuk segera mengumpulkan dan menuliskan hadis karena beliau khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi dengan wafatnya para ulama baik di kalangan sahabat atau tabi`in. Kemudian beliau mengintruksikan kepada para gubernur di seluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan Hadis.
Para ahli sejarah dan ulama juga berkesimpulan bahwa Ibn al-Syihab al-Zuhri orang pertama yang mengkodifikasikan Hadis pada awal tahun 100 H di bawah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Maksudnya di sini orang yang paling awal menghimpun Hadis dalam bentuk formal atas intruksi seorang Khalifah dan ditulis secara menyeluruh, karena tentunya penghimpunan telah dimulai sejak masa Rasulullah di kalangan para sahabat dan tab`in namun belum menyeluruh, dan dalam bentuk catatan individu.
Ulama lain sebagai penghimpun Hadis pertama pada masa ini antara lain:
1. Ibn Juraij (w. 150 H) di Makkah
2. Al-Awza`i (w. 156 H) di Syria
3. Sufyan al-Tsawri ( w. 161 H) di Kufah
4. Imam Malik (w. 179 H) di Madinah
5. al-Rabi` bin Shabih (w. 160 H) di Bashrah
6. Husyaim al-Wasithi (w. 188 H) di Wasith
7. Ma`mar al-Azdi (w. 153 H.) di Yaman
8. Jarir al-Dhabi (w. 188 H) di Rei
9. Ibn Mubarak (w. 181 H) di Khurrasan
10. al-Layts bin Sa`ad (w. 175 H) di Mesir
Teknik pembukuan Hadis pada masa ini si-pengarang menghimpun Hadis-Hadis mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian bab ini dikumpulkan dengan bab-bab lain yang berisi masalah yang lain dalam satu karangan. Namun, Hadis pada abad ini masih campur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yang masih berbentuk lembaran-lembaran (shuhuf) atau shahifah-shahifah (lembaran-lembaran) yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tertib. Materi Hadisnya dihimpun dari shuhuf yang ditulis oleh para sahabat sebelumnya dan diperoleh melalui periwayatan secara lisan baik dari sahabat atau tabi`in. Kitab-kitab Hadis pada masa itu tidak sampai kepada kita kecuali di antaranya al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik dan Musnad Imam al-Syafi`î.
Teknik pembukuannya mushannaf, muwaththa’, musnad, dan al-jami`. Mushannaf dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun, Muwaththa’ dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah keduanya diartikan sama, yaitu teknik pembukuan Hadis yang didasarkan pada klasifikasi hukum fikih dan di dalamnya mencantumkan Hadis marfu`, mawqûf, dan maqthû`. Misalnya, Muwaththa’ Imam Malik (w. 179 H), Muwaththa’ Ibn Dzi’ib al-Marwazî (w. 158 H), Mushannaf Hammad bin Salamah (w. 167), dan lain-lain. Pembukuan Musnad adalah pembukuan Hadis yang didasarkan pada nama para sahabat yang meriwayatakan Hadis tersebut, seperti Musnad al-Syâfi`î. Sedang tekni pembukuan al-jami` dalam bahasa diartikan menghimpun, mengumpulkan, dan mencakup. Arti istilah di sini dimaksudkan kitab yang penyusunannya mencakup segala topik permasalahan, seperti kitab al-Jâmi` li al-Imam `Abd al-Razzâq bin Hammâm al-Shan`ânî (w. 211 H).
C. Sikap Nabi Muhammad saw. Terhadap Penulisan Hadis
Tokoh yang paling banyak melakukan kajian terhadap penulisan hadis pada masa Rasulullah adalah al-Khatib al-Baghdadi (wafat: 463 H) dalam buku beliau yang berjudul Taqyid al-‘Ilm (Penulisan Hadis). Al-Baghdadi menuturkan bahwa ada tiga buah hadis yang melarang penulisan hadis, masing-masing diriwayatkan oleh:
1. Abu Sa’id al-Khudri
Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan dari dua jalur yaitu yang pertama adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّي وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Artinya: “Dari Hadab bin Khalid, dari Hammam, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atho’ bin Yasar, dari Abi Sa’id al-Khudri: sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: janganlah kalian menulis dariku (ucapanku), barang siapa menulis dariku (ucapanku) selain Al-Quran maka hapuslah. Dan barang siapa mendustakan diriku—kata Hammam, saya kira Nabi lalu bersabda dengan sengaja, maka bersiap-siaplah untuk masuk neraka.”
Kemudian jalur yang kedua yaitu: melalui ‘Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya, dari Ata bin yasar, dari Abu Said Al-Khudri, katanya, “kami pernah minta izin Nabi saw untuk menulis hadis-hadis beliau, tetapi beliau tidak mengizinkannya.”
Menurut para ‘Ulama hadis jalur yang kedua dho’if / lemah karena Abd al-Rahman adalah rawi yang lemah.
2. Abu Hurairah
Hadis Abu Hurairah ini diriwayatkan melalui ‘Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari ‘Ata bin Yasar, dari Abu Hurairah. Kata Abu Hurairah, Rasulullah saw diberitahukan bahwa orang-orang banyak menulis hadis. Maka beliau lalu naik ke mimbar dan setelah membaca hamdalah beliau bersasbda, “Apa maksud kalian menulis kitab-kitab itu? Saya hanyalah manusia. Siapa yang mempunyai tulisan-tulisan harap dibawa kemari.” Kata Abu Hurairah selanjutnya, “Kemudian kami mengumpulkan tulisan-tulisan itu, lalu dikeluarkan. Lalu kami bertanya Rasulullah saw, “Apakah kami boleh meriwayatkan hadis dari padamu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Ya, boleh, riwayatkanlahhadis-hadis dari padaku, tidak apa-apa. Dan barang siapa mendustakan diriku dengan sengaja, maka siap-siaplah ia masuk neraka.”
Menurut al-Dzahabi, riwayat ‘Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam tidak dapat diterima karena munkar (rawinya sangat lemah). Oleh karena itu riwayat ini gugur, tidak dapat diterima.
3. Zaid bin Tsabit
Hadis Zaid bin Tsabit diriwayatkan melalui dua jalur, yaitu:
Pertama, berasal dari al-Mutallib bin ‘Abdullah bin Hantab. Kata al-Muttalib, Zaid bin Tsabit datang kepada Mu’awiyah, lalu Mu’awiyah menanyainya tentang suatu hadis. Mu’awiyah juga menyuruh pembantunya untuk menulis hadis tersebut. Kepada Mu’awiyah, Zaid lalu mengatakan bahwa Rasulullah saw melarang merekan menulis hadis.
Riwayat ini lemah, sebab al-Muttalib tidak pernah mendengar langsung dari Zaid.
Kedua, berasal dari al-Sya’bi. Marwan menyuruh orang agar duduk bersama Zaid bin Tsabit dibalik kelambu. Setelah itu Marwan lalu menanyainya tentang sesuatu, kemudian mereka menulis hal tiu. Ketika peristiwa ini diketahui Zaid, ia berkata, “Wahai Marwan, maaf, yang saya ucapkan itu hanyalah pendapatku sendiri”.
Kemudian dari riwayat-riwayat diatas, maka hanyalah hadis yang pertama yang dapat kita terima yaitu riwayat Abu Sa’id al-Khudri. Namun, terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai makna dari hadis tersebut:
1. Hadis yang melarang penulisan ini dibatalkan (di-naskh) dengan hadis-hadis lain yang membolehkannya.
2. Larangan tersebut hanyalah khusus penulisan hadis bersamaan al-Quran dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi pencampuran antara hadis dan al-Quran.
D. TIMBULNYA PEMALSUAN HADIS DAN UPAYA PENYELAMATANNYA
Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu syiah berpusat pada waktu itu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.
Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya:
1. Orang yang kurang akal.
2. Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya.
3. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
4. Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya.
Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis yang lemah Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hadis berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut, yaitu antara lain :
1. Kitab oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdizi(w. tahun 507 H)
2. Kitab oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)
Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu. Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara lain:
1. Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadis:
Artinya:
"Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. "
2. Isi maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis:

Artinya:
"Buah terong itu menyembuhkan segala macam penyakit. "
3. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir, seperti hadis:

Artinya:
"Anak zina itu tidak akan masuk surga. "
Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. :

Artinya:
"Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. " (QS. Fatir: 18)












BAB IV
KAIDAH-KAIDAH
KEOTENTIKAN HADIS NABI

A. Kaidah Menurut Ahli Hadits
Para ahli hadits pada umumnya mengklasifikasikan hadits menjadi tiga jenis yaitu: shahih, hasan, dan dho’if. Sedangkan hadis maudlu’ tidak masuk dalam klasifikasi karena sebenarnya hadis maudlu’ bukanlah hadis tetapi hanyalah buatan orang-orang yang dengan alasan tertenntu mereka memalsukan hadis.
Keotentikan sebuah hadis dalam hal ini adalah hadis-hadis yang memenuhi persyaratan sebagai hadis shahih. Criteria hadis shahih yang paling banyak diikuti oleh Ahli hadits adalah seperti yang disebutkan oleh Dr. Mahmud Ath-Thohan yaitu:
ما اتصل سنده بنقل العدل الضبط عن مثله إلي منتهاه من غير شذوذ و لا علّة
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa criteria hadis shahih adalah sebagai berikut:
1. Sanad bersambung (اتصال السند)
Maksud dari sanadnya bersambung adalah bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai pada pembawa yang pertama.
Menurut Imam al-Bukhari, suatu sanad hadis dikatakan bersambung jika antara guru dan murid atau antara rawi pertama dan rawi kedua bertemu langsung walaupun hanya satu kali. Sedangkan menurut Imam Muslim, suatu sanad dikatakan bersambung jika ada kemungkinan bertemu antara rawi pertama dan rawi kedua hidup dalam kurun waktu yang sama dan bertempat tinggal dengan jarak tidak terlalu jauh walaupun keduanya tidak pernah bertemu langsung.
2. Rawi bersifat ‘adil (عدالة الرواة)
Adil disini menurut bahasa berarti condong, lurus, lawan dari dhalim, pertengahan, dan lain-lain.
Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, ‘adil atau ‘adalah berarti sifat yang melekat pada jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya untuk senantiasa bertakwa, menjaga muru’ah (harga diri), menjauhi perbuatan dosa.
Sedangkan Imam al-Nawawi menyatakan bahwa rawi dinyatakan bersifat adil yaitu jika dia adalah seorang muslim, berakal sehat, tidak terdapat tanda-tanda kefasikan, dan terhindar dari hal-hal yang menjauhkan muru’ah. Imam al-Hakim menambahkan satu point agar seoarang rawi dikatakan ‘adil yaitu rawi adalah seorang hafizh (penghafal).
Dengan demikian tidaklah sembarang muslim dapat meriwayatkan hadis. Tidak berlaku pula kaedah yang menyebutkan bahwa seorang muslim pasti ‘adil.
Khusus untuk para sahabat, para ahli hadis sepakat bahwa mereka ‘adil semua. Hal ini dapat kita lihat pada surat Ali Imran ayat 110:
  •  •• ………
Artinya: “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, ……” (QS. Ali Imran:110).
Juga terdapat pada surat al-Fath ayat 18:
                    
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).”(QS. Al-Fath:18).


3. Rawi bersifat dlobith (ضابط الرواة)
Dlobith secara bahasa berarti kuat, yang kokoh yang tepat dan sempurna hafalannya.
Rawi yang dlobithi adalah rawi yang kuat hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu, tidak banyak salah, sehingga ia dapat mengingat dengan sempurna hadis-hadis yang diterimanya.
4. Tidak adanya syadz (عدم الشذوذ )
Syadz dalam bahasa berarti ganjil, yang terasing, yang menyalahi aturan atau yang menyimpang. Maka, hadis syadz adalah hadis yang menyimpang dari aturan-aturan..
Menurut Imam al-Syafi’I dan Ulama al-Hijaz suatu hadis dinyatakan syadz jika hadis tersebut diriwayatkan oleh seseorang yang tsiqah (terpercaya) namun isinya bertentangan dengan periwayatan dari orang tsiqah yang banyak.
5. Tidak terdapat ‘illat (عدم العلة القادحة)
‘Illat secara bahasa berarti penyakit, sebab, alasan, atau halangan.
Pengertian ‘Illat dalam ilmu hadis berarti sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang lahirnya kelihatan shahih menjadi tidak shahih.
‘Illat dapat terjadi di matan, sanad, atau kedua-duanya. Tetapi yang terbanyak ‘Illat terjadi pada sanad.
Dengan demikian jelaslah criteria keotentikan hadis menurut para ahli hadis yaitu suatu hadis harus memenuhi kelima criteria yang telah disebutkan diatas, jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka keotentikan hadis tersebut masih harus diteliti dan dikaji lagi.
B. Kaidah Menurut Kaum Sufi
Sebagaimana ahli Fiqh, kaum sufi juga menjadikan hadis sebagai pijakan dalam pendakian spiritual mereka. Hal ini bisa dilihat dari pemikiran tokoh-tokoh sufi yang masyhur seperti al-Junaidi. Menurut al-Junaidi ilmu kaum sufi ditopang oleh al-Quran dan hadis. Bahkan al-Junaidi pernah membuat pernyataan seperti yang dikutip Abdul Karim al-Qusyairi: “Barang siapa tidak menghafal al-Quran dan tidak menulis hadis, maka ia tidak patut untuk diikuti.”
Dalam hal menetapkan otentisitas hadis, terdapat perbedaan mendasar antara kaum sufi dan ahli hadis. Bagi kaum sufi untuk menetapkan keotentikan hadis tidak hanya terpaku pada ada tidaknya rangkaian sanad pada hadis tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa perkataan tertentu dapat dinisbahkan sebagai hadis Nabi saw. Asalkan perkataan tersebut tidak bertentangan dengan al-Quran dan disampaikan oleh orang yang mempunyai tingkat keshalihan yang tinggi
Metodologi tambahan yang digunakan kaum sufi ada 2 yaitu liqa’ al-nabi dan thariq al-kasyf.
1. Liqa’ al-Nabi
Liqa’ menurut bahasa artinya menghadap, melihat, dan bertemu. Maka kata Liqa’ al-Nabi adalah menghadap Nabi saw., melihat Nabi saw., dan bertemu Nabi saw. Kaum sufi menggunakan Liqa’ al-Nabi sebagai metodologi dalam menetapkan keotentikan suatu hadis. Hal ini dapat kita lihat dari banyak sekali kaum sufi yang meng-klaim dirinya pernah bertemu Nabi baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur (mimpi) padahal Rasulullah saw. telah wafat. Mereka berpandangan seperti itu karena mereka meyakini bahwa orang shalih yang wafat sejatinya dia masih hidup. Keyakinan kaum sufi ini berdasarkan surat al-Baqarah ayat 154:
              
Artinya: “dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (QS. al-Baqarah:154).
Selain dalam surat al-Baqarah tersebut surat Ali Imran ayat 169 juga menjelaskan adanya kehidupan bagi para syuhada:

 •             
Artinya: “janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. Ali Imran:169).

2. Thariq al-Kasyf
Al-Kasyf sendiri berdasarkan bahasa berarti keterbukaan.
Maksud dari thariq al-Kasyf yaitu tersingkapnya tabir antara kehidupan kaum sufi di dunia dengan alam gaib, sehingga mereka dapat melihat kehidupan di alam ghaib. Jika mereka telah mengalami al-Kasyf maka suatu kali mereka akan merasakan jika mereka akan langsung mendapat ilmu dari Allah atau yang biasa disebut ilmu ladunni.
Kaitannya dengan metodologi dalam penentuan keotentikan hadis yaitu mereka suatu kali akan merasa jika hatinya benar-benar terbuka, kemudiam mereka merasa telah memasuki alam jiwa, dari sinilah disinyalir jika mereka merasa bertemu dengan Rasulullah kemudian Rasulullah saw.
Namun kedua metodologi kaum sufi terseebut menuai banyak kritik oleh kalangan ulama ahli hadis. Bagaimanapun juga antara sanad dan matan hadis tidak boleh dipisahkan dan kedua-duanya harus lolos prosedur kriteria otentisitas hadis. Sedangkan menurut metodologi kaum sufi, mereka hanya mementingkan segi matan saja. Ini tidak sesuai dengan kaidah keotentikan hadis.

BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Penghimpunan hadis pertama kali dilakukan oleh khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, dimana beliau mengirim surat kepada para gubernur agar mereka mengumpulkan ahli-ahli hadis di daerah mereka masing-masing dan memberikan tugas kepada para ahli hadis untuk segera menghimpun dan mengumpulkan hadis-hadis nabi. Hal ini bertujuan untuk mencegah hilangnya hadis-hadis nabi sebagai pedoman hukum Islam kedua setelah al-Quran.
Penulisan hadis sendiri sebenarnya telah dilakukan sejak masa Nabi Muhammad saw, hal ini terbukti dengan adanaya al-Shahifah al-Shadiqah yang ditulis oleh sahabat ‘Amr bin ‘Ash. Penulisan hadis banyak menuai kotroversi karena adanya hadis Nabi yang melarang penulisan hadis. Namun jika ditafsirkan Nabi melarang penulisan hadis dikarenakan kekhawatiran tercampurnya al-Quran dan al- Hadis. Namun jika keduanya tidak ditulis dalam satu shuhuf (lembaran) hal ini tidak menjadi masalah.
Kemudian mengenai standarisasi keotentikan hadis, metodologi para ahli hadis llebih akurat daripada metodologi kaum sufi. Metodologi yang digunakan ahli hadis dalam menilai keotentikan sebuah hadis yaitu hadis tersebut harus memenuhi kelima persayaratan sebagai berikut: sanadnya bersambung, rawi yang ‘adil, rawi yang ‘dlobith, tidak adanya syadz (keraguan), dan tidak adanya ‘illat (kerusakan).

DAFTAR PUSTAKA


Referensi Buku:
Al-Thahan, Mahmud, Dr. Taysir Mushtholah al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikr.
Azami, Muhammad Musthafa, Prof. Dr. 2006. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus. (diterjemahkan oleh Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub).
Khon, Majid, dkk. 2005. Ulumul Hadis. Jakarta : PSW UIN Jakarta.
Sya’roni, Usman. 2008. Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Yaqub, Ali Mustafa, Prof. Dr. 2008. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Referensi website:
www.cybermq.com

ditulis oleh:
Muhammad Zidny Naf’an
Mahasiswa Semester 5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Santri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar